Ketua Bidang Politik dan Demokrasi HMI Cabang Bandar Lampung Soroti Minimnya Variasi Makanan MBG

Presiden Prabowo melalui Badan Gizi Nasional (BGN) telah mengalokasikan miliaran rupiah untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi siswa SD hingga SMA selama bulan Ramadan. Dengan anggaran Rp10.000 per porsi dan total lebih dari Rp2 miliar untuk 30 hari, program ini diharapkan dapat meningkatkan asupan gizi anak-anak sekolah. Namun, apakah program ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi siswa, atau justru hanya menjadi proyek dengan angka besar tanpa dampak signifikan?

Distribusi makanan dalam program ini mencakup 6.881 siswa dari tingkat SD hingga SMA/SMK. Namun, pantauan di lapangan menunjukkan bahwa menu yang diberikan hanya terdiri dari roti, kurma, dan susu kotak. Jika dibandingkan dengan standar gizi seimbang, komposisi ini masih jauh dari ideal. Program ini pun menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari Ketua Bidang Politik dan Demokrasi HMI Cabang Bandar Lampung, Rizki Rinanda, yang menyoroti minimnya variasi makanan serta mempertanyakan transparansi penggunaan anggaran.

“Ini program besar dengan anggaran besar, tapi mengapa menu yang diberikan masih sangat sederhana? Seharusnya siswa mendapatkan makanan yang lebih bergizi,” ujar Rizki.

Benarkah Setiap Porsi Senilai Rp10.000?Evaluasi terhadap harga bahan makanan menunjukkan bahwa dengan harga roti sekitar Rp3.000–Rp5.000, kurma Rp2.000–Rp3.000, dan susu kotak Rp3.000–Rp4.000, total estimasi biaya per porsi berkisar Rp8.000–Rp12.000. Secara matematis, angka ini masih masuk dalam rentang anggaran, tetapi kritik mengenai kurangnya variasi dan kandungan gizi tetap relevan.

“Dengan anggaran Rp10.000, seharusnya siswa bisa mendapatkan menu yang lebih seimbang, seperti tambahan sumber protein (telur, ayam, atau tahu-tempe) serta sayuran dan buah segar. Jangan sampai ada penyimpangan anggaran yang merugikan anak-anak,” tegas Rizki. Ia juga mempertanyakan transparansi penggunaan anggaran, terutama dalam proses pengadaan bahan makanan dan distribusinya.

Selain itu, pembangunan 60 dapur umum dengan anggaran Rp54 miliar juga mengundang tanda tanya. Dengan biaya hampir Rp900 juta per dapur, muncul pertanyaan apakah pembangunan dapur dengan anggaran sebesar itu benar-benar diperlukan. Apakah ada kajian mendalam mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan dana tersebut? Tanpa transparansi dan audit yang jelas, ada potensi anggaran ini disalahgunakan atau dihamburkan untuk proyek yang tidak memiliki urgensi nyata.

Meski program ini berjalan tanpa hambatan, efektivitasnya masih menjadi pertanyaan besar. “Jika program ini hanya dijalankan sebagai formalitas tanpa memperhatikan kebutuhan gizi siswa secara menyeluruh, maka manfaatnya akan sangat minim. Tanpa evaluasi dan transparansi yang lebih baik, MBG berisiko menjadi proyek seremonial yang lebih banyak menguntungkan segelintir pihak dibandingkan memberikan manfaat nyata bagi para siswa,” ujar Rizki.

Ia menegaskan bahwa Badan Gizi Nasional perlu segera melakukan evaluasi mendalam, mulai dari pemilihan menu, efektivitas penggunaan anggaran, hingga transparansi dalam pembangunan dapur umum. Jika tidak, program ini berisiko menjadi sekadar proyek seremonial yang menghabiskan anggaran tanpa memberikan dampak nyata bagi kesehatan siswa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *