Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 mengenai Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS, Amerika Serikat (AS) menyoroti kebijakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai penghalang bagi perdagangan internasional.
AS mengkritik Peraturan Bank Indonesia (BI) No. 19/08/2017 yang membatasi kepemilikan asing hingga 20 persen untuk izin switching GPN, serta melarang layanan pembayaran lintas negara dalam transaksi domestik. Peraturan tersebut, menurut AS, membatasi akses perusahaan AS ke pasar Indonesia.
Kritik terhadap QRIS dan GPN
Dokumen tersebut juga mencatat bahwa perusahaan-perusahaan AS tidak diberikan kesempatan untuk memberikan masukan selama proses penyusunan kebijakan QRIS oleh BI, terutama terkait kompatibilitas sistem pembayaran ini dengan sistem pembayaran global yang lebih luas.
AS juga mengkritisi kewajiban yang mewajibkan seluruh transaksi ritel domestik di Indonesia diproses melalui institusi switching GPN yang telah berizin dan berada di dalam negeri. Selain itu, peraturan BI lainnya mengharuskan perusahaan asing untuk bekerja sama dengan penyedia switching lokal dan mendapatkan persetujuan BI, yang hanya diberikan jika mitra asing berkomitmen untuk mendukung industri domestik, termasuk melalui alih teknologi.
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Ia juga menambahkan bahwa Indonesia sedang mempersiapkan paket kebijakan ekonomi yang mencakup perizinan impor melalui sistem Online Single Submission (OSS), insentif pajak dan bea cukai, serta kuota impor dan layanan keuangan.
AS Sebut Pasar Mangga Dua sebagai Sarang Barang Bajakan
Dalam laporan yang sama, AS juga menyoroti Pasar Mangga Dua di Jakarta sebagai salah satu pusat peredaran barang bajakan dan palsu, yang dianggap menghambat hubungan perdagangan antara kedua negara. Pasar ini tercatat dalam daftar Tinjauan Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan Tahun 2024, bersama dengan sejumlah platform e-commerce di Indonesia.
Meski Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) dan penegakan hukum terkait hal tersebut, AS mengungkapkan bahwa masih ada kekhawatiran besar di kalangan pelaku bisnis. Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyoroti lemahnya penegakan hukum HKI di Indonesia sebagai isu utama. AS mendesak agar Indonesia memperkuat kerja gugus tugas penegakan HKI dan meningkatkan koordinasi antara lembaga penegak hukum.
“Amerika Serikat juga terus mendorong Indonesia untuk menyediakan sistem perlindungan yang efektif terhadap penggunaan komersial yang tidak adil,” tulis dokumen USTR, yang dikutip pada Sabtu (19/4).