JAKARTA – Di tengah hiruk pikuk Kota Jakarta, berdiri sebuah jalur bawah tanah yang bukan sekadar penghubung dua tempat ibadah, melainkan juga dua keyakinan yang hidup berdampingan. Namanya sederhana: Terowongan Silaturahmi. Namun di balik namanya yang bersahaja, tersimpan kisah panjang tentang pilihan untuk merangkul, bukan memisahkan.
Jumat (18/4) ini, umat Kristiani merayakan Jumat Agung. Dari arah Masjid Istiqlal, mereka melangkah perlahan, menyusuri lorong sedalam tiga meter yang diterangi lampu-lampu bergelantungan bak doa yang terus terpanjat. Di dinding-dindingnya, karya seni terpatri, seolah menyampaikan pesan bahwa harmoni dapat tumbuh dari keberagaman.
Langkah kaki menyatu dengan lantunan suara yang menembus relung jiwa: denting lonceng Gereja Katedral menggema dari kejauhan, bersahutan dengan dentuman beduk dari Istiqlal. Alunan tak tertulis, namun mampu menyatukan perasaan dalam irama yang menggugah.
Di antara laju pejalan kaki, ada Seto (54), yang hari itu datang seorang diri. Berasal dari Kalideres, ia memarkir mobil di Istiqlal sebelum menyeberang ke Katedral. Baginya, terowongan ini lebih dari sekadar jalan pintas—ia adalah simbol kebersamaan.
“Bagus banget, ini bentuk silaturahmi. Cuma ya, pendek banget, terlalu singkat,” ujar Seto sambil tersenyum.
Datang untuk mengikuti ibadat sesi ketiga pukul enam sore, Seto mengaku sering menggunakan parkiran Istiqlal, tak hanya saat beribadah tapi juga untuk keperluan lain.
“Kalau ada acara di Istiqlal juga saya parkir di sana,” tambahnya.
Bagi Seto, Terowongan Silaturahmi adalah langkah awal yang baik dalam membangun jembatan antarumat beragama. Namun, ia berharap toleransi tidak berhenti pada simbol semata.
“Dulu saya aktif di Dewan Masjid Indonesia DKI, jadi saya tahu pentingnya ini. Tapi semoga ke depan, toleransi bisa lebih nyata. Misalnya, urusan rumah ibadah buat minoritas jangan dipersulit,” harapnya.
Dari arah sebaliknya, Rosa (67), seorang ibu paruh baya, berjalan santai menuju Istiqlal setelah mengikuti ibadat.
“Nyaman sekali. Tidak kehujanan, tidak terjebak macet. Langsung ke tempat ibadah. Ini bentuk nyata kerukunan,” katanya.
Rosa pun berharap semangat toleransi bisa menular ke tempat-tempat lain.
“Semoga semua bisa saling menghargai. Tidak perlu ada konflik. Hidup rukun itu indah,” ucapnya lembut.
Mungkin tak ada doa yang dilafalkan keras-keras di lorong itu. Namun setiap langkah, setiap tatapan, adalah pengakuan diam-diam: bahwa kedamaian bukan hal yang mustahil, selama kita mau bertemu di titik tengah.